Natal Yang Hilang

Natal Yang Hilang

Sebagian besar masa kecilku dilalui didaerah Sumatera Utara, dengan berbagai kabupaten dan hampir setiap 2 tahun sekali kami harus berpindah tempat tinggal karena pekerjaan Papa. Wilayah Sumatera Utara yang pernah kami tinggali adalah Aek Kanopan, Perbaungan, Pematang Siantar, Kisaran, Panyabungan, Natal, Sibolga, Gunung Tua, dan Rantau Prapat.


Semua kota itu selalu mempunyai kisah masing-masing dihatiku. Tapi yang paling aku rekam adalah bahwa orang batak (sebutan kebanyakan orang untuk orang Sumatera Utara)semuanya baik-baik, cuman ribut dimulut aja, kalo isi hati mellow semua hahaha, mau bukti? Cek nada-nda dan lirik lagu orang batak, isinya menyayat hati semua hehehe.


Dari Aku SD mulai paham arti pergaulan dalam artian "berteman" dan tak semuanya seiman denganku bahkan semua suku Tiongha, Jawa, Batak, Melayu juga tak pernah memperdulikan apa agama kami "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" mungkin itu yang menjadi prinsip kami. Dan saat kecil itu aku terbiasa merayakan Natal bersama teman-temanku, sebaliknya bersama mereka pula merayakan malam takbiran, dan bahkan ketika teman tiongha kami habis sembahyang kami setia menunggunya, karenanya setelah ibadahnya kami bisa makan buah-buahan enak.


Sampai aku menginjak usia SMA semuanya masih sama, aku merayakan Natal bersama mereka, berkunjung ke rumah teman, mendatangi Guru yang merayakan Natal dan semuanya bahagia. Tak ada yang berubah, setiap hari aku masih sholat, selepas maghrib masih mengaji, begitu juga dengan temanku setelah mengucap takbir masih melakukan ibadah ke Gereja, "nothing change!".


Lalu era digital datang, dengan mudah saling sebar berita ini itu, sampai-sampai aku takut untuk mengucapkan Natal bukan karena aku takut akidahku goyang, tapi aku hanya tidak mau menjawab pesan orang yang ditujukan kepadaku dengan segala dalil, atau aku hanya takut diberi cap antek-antek apalah. 

Disaat seorang teman meneteskan airmata "aku tak boleh berkunjung kerumahnya hanya karena suaminya berjenggot sedangkan dileherku berkalung salib" apakah agama menjadi kriteria untuk berteman ? Entah mau berkomentar apa, aku mulai tak bisa berlaku adil hanya karena situasi bukan karena aku tak ingin.

Dan tahun ini adalah Natal kesekian yang tak bisa kurayakan lagi, teman-temanku maklum, tapi jujur aku merindu suasana natal dimasa kecil, dimana aku bisa menikmati sebuah silaturahim tanpa banyak dalil, dan kini Natal itu telah hilang.

0 Komentar

Komen ya biar aku tahu kamu mampir