Refleksi tentang Hak Seorang Ibu untuk Bahagia

Refleksi tentang Hak Seorang Ibu untuk Bahagia

 Ibu, Tak Usah Ragu untuk Berhenti Sejenak

Tulisan ini re-write dari artikel di kompasiana dan alhamdulillah menjadi headline, semoga saja bisa membawa insight bagi pembaca.

Jangan Sedih Bu!
Setiap tetes kopi yang aku teguk di warung kecil itu terasa seperti hadiah untuk diri sendiri - sebuah pengakuan bahwa kebahagiaan seorang ibu dimulai dari pengakuan akan kebutuhannya.  

Sebuah Status WhatsApp yang Menginspirasi Renungan

Semalam, aku membagikan momen sederhana di WhatsApp Story - gambar secangkir kopi di warung pinggir jalan dengan caption receh. Sebuah kebiasaan yang sudah aku lakukan selama lima tahun terakhir setiap pulang kerja. Perjalanan dua jam dari kantor ke rumah memang melelahkan, dan berhenti sejenak di kedai kopi, bakso pinggir jalan, resto favorit atau duduk di taman menjadi ritual penyegar jiwa.  

Seorang teman membalas : "Enak ya bisa me time gitu..." Komentar sederhana yang membuat ku tersadar - betapa hak istimewa untuk sekadar berhenti sejenak ternyata masih menjadi kemewahan bagi banyak ibu.  

Potret Ibu yang Lupa Bahagia

Pikiran ku langsung melayang ke sosok Mamak ku. Seorang ibu rumah tangga sepenuh waktu yang mengabdikan hidupnya tanpa sisa untuk keluarga. Sepanjang ingatan ku, Mamak tidak pernah sekalipun berhenti untuk menikmati waktu sendirian. Suami dan anak-anak selalu menjadi prioritas Mamak dan jujurly ini aku angkat topi buat Mamak, makasih ya Mak! 

"Perempuan yang mampir makan sendirian itu egois," katanya suatu hari. "Ibunya siapa itu, tega ninggalin anak cuma buat duduk enak di warung?"  

Dulu, akua mengira itu bentuk pengorbanan mulia. Kini aku paham, itu adalah jerat ekspektasi yang dibuatnya sendiri. Mamak memilih untuk tidak meluangkan sedikit waktu untuk dirinya sendiri, lalu diam-diam mengharapkan kami memahami "pengorbanan" yang tidak kami minta. Ketika harapannya tidak terpenuhi, yang muncul adalah kekecewaan bahkan emosi melihat kami tak sesuai harapannya. 

Ketika Aku Menjadi Ibu : Memutus Rantai Pengorbanan Tanpa Makna

Sekarang, sebagai seorang ibu, aku membuat pilihan berbeda. Beberapa hal yang aku pikirkan selama melihat Mamak adalah :

✔ Aku tidak ingin menjadi martir yang menderita dalam diam  

✔ Aku berhak atas kebahagiaan pribadi tanpa merasa bersalah  

✔ Waktu untuk diri sendiri bukan pengkhianatan, tapi kebutuhan  

Praktiknya sederhana yang kerap aku lakukan adalah :  

- Mampir ke kedai kopi sepulang belanja bulanan  

- Duduk tenang di taman saat anak les  

- Bertemu teman-teman lama secara rutin  

Dan tentu saja, semua ku lakukan setelah memastikan :  

- Sarapan sudah tersedia  untuk anak dan suami

- Menu makan malam telah disiapkan  bila aku harus pulang telat

- Rumah dalam keadaan rapi , minimal sudah di sapu, kasur sudah dirapihkan


"Bu, jangan takut berhenti sebentar, bahagiakan dirimu lalu semua akan tertular bahagia.

✔ Warung bakso itu bukan musuh rumah tangga  

✔ Secangkir teh sendiri bukan pengkhianatan  

✔ Waktu untuk diri adalah bahan bakar kesabaran  

Kita memberi keluarga bukan hanya waktu dan tenaga, tapi juga hati. Dan hati yang kering hanya akan melukai.  

Bu, ingat saja bahwa  

1. "Seorang ibu tak perlu menderita untuk membuktikan cintanya"  

2. "Pengorbanan yang tak diakui akan menjadi racun dalam hubungan"  

3. "Kebahagiaan ibu adalah fondasi keluarga yang sehat"  

Hari ini, aku mengajak semua ibu untuk melakukan eksperimen kecil : berhenti 15 menit lebih lama di warung setelah belanja. Rasakan bagaimana secangkir kopi hangat bisa mengisi ulang energi yang terkuras.  

Dunia tidak akan runtuh. Justru, kita akan kembali ke rumah dengan senyum yang lebih tulus dan pelukan yang lebih hangat.  

Bagaimana dengan kalian?

Pernah merasa bersalah karena meluangkan waktu untuk diri sendiri? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar!  

#IbuBahagia #SelfLove #Parenting #WorkLifeBalance #RefleksiHarian

0 Komentar

Komen ya biar aku tahu kamu mampir