Ketika Roda Hidup di Bawah: Menangis Boleh, Tapi Bangkit Itu Wajib
Ada masa dalam hidup yang membuatku ingin diam saja. Bukan karena menyerah, tapi karena sedang mencoba memahami: mengapa hidup terasa begitu berat. Di saat itulah, aku mengizinkan diriku untuk merasa. Menangis jika perlu. Merasa kecewa, bahkan hampa. Tapi satu hal yang ku tanam kuat dalam dada—jangan pernah marah pada Sang Pencipta.
![]() |
Ketika Roda Hidup di Bawah : Menangis Boleh, Tapi Bangkit Itu Wajib (ulihape) |
Aku selalu percaya bahwa apa pun yang Allah beri adalah bagian dari rencana-Nya yang terbaik untukku. Prinsip ini bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul, tapi hasil dari berkali-kali diuji dan merasakan bagaimana setiap kesulitan yang dulu begitu menyakitkan, ternyata menyimpan pelajaran paling berharga dalam hidupku.
Berprasangka Baik di Tengah Duka
Tak mudah memang. Kadang rasanya ingin bertanya, "Kenapa harus aku?" Tapi aku belajar untuk tidak menahan pertanyaan itu. Aku izinkan diriku bertanya, meratap, dan kecewa. Karena aku tahu, Allah tidak marah pada hambanya yang sedang lelah. Justru di situlah kita diuji, apakah rasa kecewa itu akan berubah menjadi prasangka buruk, atau justru menguatkan iman yang sempat goyah.
Satu kalimat yang selalu menenangkan ku—aku bahkan tak tahu siapa yang menulisnya pertama kali—berbunyi :
"Tulislah rencanamu dengan pensil, lalu berikan penghapusnya kepada Allah. Biarkan Ia menghapus bagian-bagian yang salah dan menggantikannya dengan skenario-Nya yang jauh lebih indah."
Kalimat itu seperti pelukan lembut di tengah badai. Aku diajarkan untuk merancang hidup, tetapi harus siap ketika Allah mengubahnya. Karena bisa jadi, yang kita anggap pahit saat ini adalah obat paling mujarab untuk masa depan.
Mengenali Luka, Menyembuhkan dengan Sabar
Aku tak ingin membohongi diri sendiri dengan pura-pura kuat. Justru dengan mengakui bahwa aku sedang terluka, aku bisa memulai proses penyembuhan. Aku percaya bahwa kejujuran pada emosi sendiri adalah bentuk keberanian.
Tapi aku juga percaya bahwa Allah tak pernah memberi masalah tanpa solusi. Kita hanya diminta untuk sabar menunggu waktu-Nya dan terus berusaha menemukan hikmah dari setiap hal yang terjadi. Karena dalam diam-Nya, Allah sedang menyiapkan sesuatu. Dalam penundaan-Nya, ada pelajaran yang harus lebih dulu kita pahami.
Waktu untuk Menangis dan Waktu untuk Berdiri
Aku memberikan waktu untuk bersedih. Tapi aku juga tahu kapan harus bangkit. Hidup tak berhenti hanya karena satu rencana gagal. Justru dari kegagalan itu aku belajar bahwa rencana manusia seringkali terlalu kecil untuk menampung takdir besar yang sudah Allah siapkan.
Optimisme bukan berarti menutup mata dari realita. Tapi kemampuan untuk melihat celah cahaya di tengah gelapnya malam. Dan aku memilih untuk berjalan menuju cahaya itu, meski perlahan.
Mengais Makna Jangka Panjang
Setiap luka yang pernah kualami, kini menjadi pengingat. Ketika aku di posisi yang lebih baik, aku menoleh ke belakang dan bersyukur—bukan karena luka itu menyenangkan, tapi karena luka itu membuatku bertumbuh.
Dari semua perjalanan itu, aku menyimpulkan bahwa:
-
Tak semua hal harus dimengerti saat ini. Ada makna yang hanya bisa dipahami setelah waktu berlalu.
-
Doa yang belum dijawab bukan berarti ditolak. Bisa jadi sedang dikumpulkan untuk jawaban yang lebih besar.
-
Skenario-Nya selalu lebih indah, bahkan ketika proses menuju ke sana terasa penuh air mata.
Iman yang Dewasa Tumbuh dari Ujian
Aku tak ingin menjadi manusia yang hanya kuat saat segala sesuatunya berjalan sesuai harapan. Aku ingin menjadi pribadi yang tetap teguh meski rencana hidupku berubah arah. Karena aku percaya, Allah tidak pernah salah dalam menulis takdir.
Dan jika hari ini aku harus berjalan dengan luka, biarlah itu jadi bukti bahwa aku pernah jatuh, pernah patah, tapi tak pernah kehilangan iman.
0 Komentar
Komen ya biar aku tahu kamu mampir